Koran
merupakan media informasi yang telah dipercaya oleh masyarakat untuk memberikan
informasi yang aktual dengan fakta yang dibedah secara mendalam dengan tetap
menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Akan tetapi seiring berjalannya waktu
koran telah mengalami transformasi yang tidak lagi mengindahkan aturan umum jurnalistik
lagi, salah satu kasus yaitu pemberitaan isu-isu seks yang dibuat lebih vulgar ataupun dengan
menambahkan foto-foto yang vulgar juga ataupun pemberitaan yang memihak pada
salah satu kubu, bahkan informasi narasumber yang terekspos, contohnya saja
pemberitaan yang dimuat oleh koran kuning. Koran kuning sendiri merupakan surat
kabar yang cenderung kurang mengindahkan aturan umum jurnalisme dalam
pemberitaannya. Unsur ilusi, imajinasi dan fantasi sangat kental pada koran kuning sehingga
membuatnya dikenal sebagai jurnalisme yang menjual sensasi. Unsur
sensasionalisme pada berita sangat kuat, yang kemudian dikenal sebagai
karakteristik jurnalisme kuning, seperti yang dikemukakan oleh Conboy (http://eprints.undip.ac.id, 12/03/2016). Bukan
hanya dalam aspek sensasional yang diberikan koran kuning tetapi aspek visual
yang dimiliki koran kuning juga menuai kontroversi. Sebagai contoh aspek visual yang
digunakan oleh surat kabar kuning adalah menurut Conboy: (1) Menakut-nakuti: headline
yang memberikan efek ketakutan, ditulis dalam ukuran font yang sangat besar, dicetak dalam warna hitam
atau merah. Sering memuat berita-berita
dengan sumber tidak jelas, (2) menampilkan foto dan gambar berlebihan, dan (3)
halaman tambahan suplemen Minggu, yang mengandung komik berwarna biasanya
menampilkan artikel dengan topik sepele. Teknik verbal yang melekat di koran-koran
kuning, seringkali berisi cerita dan wawancara palsu, judul menyesatkan pseudo-sains,
bahkan judul yang penuh dengan kebohongan (http://eprints.undip.ac.id, 12/03/2016). Lampu
Merah (Jakarta), Meteor (Semarang), Posko (Manado), Pos Metro (Bogor, Medan,
Batam), Merapi (Yogyakarta) merupakan beberapa koran kuning di Indonesia.
Lampu merah merupakan salah satu
koran kuning yang menuai kesuksesannya di Indonesia dari masa reformasi hingga
sekarang. Koran ini juga sering dikatakan sebagai koran dengan “bahasa preman”
(http://eprints.undip.ac.id, 12/03/2016). Dalam
setiap penerbitannya Lampu Merah selalu memberitakan sesuatu hal secara
dramatisasi, dan berlaku juga pada pemberitaan terhadap isu seks. Pemberitaan seks
yang dibuat dengan judul yang vulgar dan juga berisi gambar yang terlampau
vulgar dari aturan jurnalistik, hal tersebut sudah jelas melanggar kode etik jurnalistik pasal empat
yang menyebutkan Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis,
dan cabul(http://dewanpers.or.id,
12/03/2016). Dalam konteks cabul itu sendiri dimaksudkan dengan suatu pemberitaan
tidak boleh menimbulkan nafsu birahi pada pemberitaanya dalam menggambarkan
suatu isu tertentu. Hal-hal seperti ini rupanya bagi kalangan masyarakat
golongan menengah ke bawah di Jakarta bukan perihal yang harus diperhatikan
secara serius, dikarenakan harga yang sangat terjangkau oleh mereka yaitu hanya
seribu rupiah mereka bisa mendapatkan sebuah koran (seperti Lampu Merah,
Merapi, Pos Kota) dengan kata-kata nyeletuk” yang dapat dengan cepat mereka resapi,
inilah alasan kenapa Lampu merah dan koran kuning lainnya digandrungi
masyarakat. Persoalan yang paling ditakuti adalah pemberitaan tentang seks dan
iklan-iklan yang berbau seksual dengan sangat terpampang dan terekspos,
bagaimana pun juga konsumen koran bukan hanya masyarakat dengan umur di atas
delapan belas ke atas walaupun masyarakat dengan usia di bawah delapan belas
lebih sedikit menjadikan koran sebagai bahan bacaan mereka akan tetapi dengan
terpampang jelas judul berita yang kontroversi ini akan membawa mereka untuk membaca
koran tersebut, seperti contohnya judul “Pa****ra Diremas Pria Konak” di Koran
Pos Metro , judul berita ini sangat
melengceng dari aturan jurnalisme dan juga diberi kemasan gambar yang terlalu
vulgar akan memberi kesan yang tidak enak dilihat karena di dalam kode etik pun
gambar yang terlalu vulgar seharusnya diblur sehingga gambar-gambarnya
tidak terlihat jelas, walaupun mungkin saja hal-hal tersebut dibuat untuk menarik perhatian publik. Dampak dari
hal tersebut akan sangat terasa bagi anak di bawah umur, bagaimana pun anak di
bawah umur tidak bisa disamakan dengan orang dewasa, sedangkan koran kuning ini
memuat topik-topik yang seharusnya diperuntukan bagi orang dengan usia diatas
umur delapan belas tahun, penjabaran isi berita seks ini pun sangat frontal dan
intim bagi anak dibawah umur hal ini juga bisa menyebabkan mereka akan selalu
ketagihan membaca berita berbau seksual dan dalam tahap puncak bisa saja mereka
mencoba merasakan sensasi seperti yang dijabarakan oleh Koran kuning tersebut
bahkan bisa jadi penasaran dengan kata-kata seksual yang ditulis koran
tersebut. Kita ketahui sendiri bahwa koran kuning ini walaupun memiliki konten
yang seksual tetapi tidak diberi tanda atau peringatan khusus untuk konsumen
dengan ketentuan usianya, maka karna itu mereka dengan umur di bawah umur
delapan belas tahun bisa leluasa untuk membeli, memiliki, dan membaca tanpa
adanya teguran dari masyarakat lainnya. Inilah yang pada akhirnya akan
menyebabkan kemerosotan moral bagi anak-anak bangsa, kemerosotan ini akan
menyebabkan taraf kehidupan anak bangsa juga akan menngalami penurunan. Maka karna
itu hal ini tidak bisa dianggap sebelah mata.
Kita
sebagai masyarakat Indonesia tak terutama pembaca, seharusnya bisa jeli dan
memilah-milah mana koran yang dapat dikonsumsi mana yang tidak karena dengan
membaca kita mendapatkan informasi, juga kritis dalam mengamati kinerja koran
kuning tersebut dan juga bagi seorang jurnalis, mereka harus profesional dalam
menjalankan tugasnya, karena seorang jurnalis mencari dan menulis sebuah berita
bukan hanya untuk menarik perhatian publik dan membuat berita yang bisa saja
merusak moral masyarakat yang membaca berita yang mereka buat.
oleh : Amorita R
oleh : Amorita R
Daftar
pustaka
http://eprints.undip.ac.id/38469/3/Bab_2.pdf
, diakses 12 maret 2016
http://dewanpers.or.id/peraturan/detail/190/kode-etik-jurnalistik,
diakses 12 maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar