Sabtu, 12 Maret 2016

Efek Pencabutan Surat Ijin Terbit Koran terhadap Kondisi Sosial Politik Sebuah Negara



Kebebasan pers adalah salah satu pilar terpenting dalam proses demokrasi. Tanpa kebebasan pers, demokratisasi kehidupan sosial-politik di sebuah negara sulit terlaksana. Penguasa dapat sewenang-wenang menghukum masyarakat yang tidak sependapat. Kehidupan masyarakat akan berlangsung menakutkan, karena kebebasan untuk bersuara dan berekspresi dibungkam (Dhakidae, 2004).
Pers pada masa Orde Baru mengalami masa kelam, kebebasan untuk berpendapat dilarang keras oleh pemerintah. Indonesianis Ben Anderson, pernah menyebutkan, kondisi tersebut persis seperti ketika Sukarno memegang kekuasaan pada masa Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan Sukarno nyaris mutlak, dan pers pun tunduk di bawah kekuasaannya. Sikap pemerintahan terhadap pemberitaan media massa ditandai dengan keluarnya peraturan-peraturan yang mengekang kebebasan pers. Setelah Surat Ijin Terbit dan Suart Izin Cetak masih diberlakukan, pemerintah juga mengeluarkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Semua peraturan tersebut digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk membatasi kebebasan pers. Tanggal 15 Januari 1974 pemerintah membredel 12 media massa di Ibu Kota Jakarta. Salah satunya adalah koran Indonesia Raya. Setelah peristiwa tersebut, pers dalam masa yang mengkhawatirkan. Pers yang tidak mendukung penuh kebijakan pemerintah diancam akan ditutup oleh pemerintah. Pasca tahun 1974 tidak ada satu koranpun yang berani menentang kebijakan pemerintah Orde Baru secara terang-terangan. Pemerintah Orde Baru justru menguatkan stabilitas negaranya dengan menggunakan pers, terlebih dengan menggunakan pers yang berasal dari kalangan kelompok militer dan partai pendukung.
            Cuplikan film Ada Apa Dengan Cinta? mengingatkan kembali bagaimana kebebasan berpendapat adalah perbuatan yang salah. Yusrizal yang diperankan oleh Pramana Padmodarmaya  diceritakan sebagai pensiunan yang tidak pernah menerima uang pensiun. Hal itu dikarenakan pada tahun 1996, ia pernah menulis thesis tentang kebusukan orang-orang di pemerintahan. Tidak berhenti sampai disitu, penderitaan keluarga Yusrizal juga ditambah dengan teror terus menerus oleh orang yang tidak dikenal. Pada film itu diceritakan sekelompok preman yang datang ke rumah Yusrizal melempar bola api. Ternyata masa reformasi belum menjadi titik balik kebebasan pers di Indonesia.
            Harian Indonesia Raya adalah surat kabar nasional yang mengalami dua kali masa penerbitan, yakni pada masa pemerintahan Orde Lama dan masa Orde Baru. Pada kedua masa pemerintahan tersebut harian Indonesia Raya mengalami larangan terbit. Selama masa penerbitan pertama 1949-1968, lima wartawannya pernah ditahan selama beberapa hari, bahkan ada yang sampai satu bulan. Pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis, menjadi tahanan rumah dan dipenjarakan selama sembilan tahun tanpa proses peradilan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, atau pada tanggal 30 Oktober 1968, harian Indonesia Raya kembali terbit. Pada periode ini harian Indonesia Raya banyak mengkritisi isu nasional, yaitu Proyek Miniatur Indonesia, korupsi dan manipulasi, pemuda dan mahasiswa, keadaan politik nasional, kesenjangan sosial dan strategi pembangunan ekonomi, peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, modal Jepang di Indonesia, serta peristiwa 15 Januari 1974 yang berbuntut kepada penahanan Mochtar Lubis. Harian Indonesia Raya secara resmi ditutup sejak dikeluarkan pencabutan Surat Izin Terbit (SIT) pada 22 Januari 1974 oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika, Departemen Penerangan. Pencabutan Surat Izin Cetak (SIC) oleh Pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi Pemulihan dan Keamanandan Ketertiban Daerah Jakarta Raya dan Sekitarnya. Selain itu, harian Indonesia Raya merupakan salah satu media di Indonesia yang banyak dinilai fenomenal dalam pelaporan investigasi. Harian ini juga melakukan penyidikan mengenai kasus korupsi atau tuduhan korupsi oleh pejabat pemerintah atau pengusaha dan menyiarkannya dengan kritis.
            Pers mempunyai peranan penting sebagai alat perubahan sosial dan pembaharuan masyarakat. Pers atau surat kabar dapat berperan dalam penyampaian kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat juga dapat menggunakan pers sebagai penyalur aspirasi dan pendapat serta kritik atau kontrol sosial. Pers dapat berperan sebagai media penghubung yang efektif antara pemerintah dan masyarakat (Soekarno, 1986).
Peranan dan fungsi pers selain melakukan pemberitaan yang objektif kepada masyarakat, juga berperan dalam pembentukan pendapat umum. Pers juga dapat berperan aktif dalam membangun kesadaran politik masyarakat. Peranan pers dan media massa lainnya yang paling pokok dalam pembangunan adalah sebagai agen perubahan, agent of change. Letak peranannya adalah membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Pers dan media massa sebagai agen perubahan sosial memiliki beberapa tugas yang dapat dilakukan untuk menunjang pembangunan sebagai salah satu tempat terjadinya pembaharuan dan perubahan sosial (Rachmadi, 1990). Fungsi dan peranan pers juga diatur dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungsi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Televisi pada masa orde baru masih berusia balita (bawah lima tahun), dan kepercayaan publik kepada televisi masih harus dibangun. Koran bisa dikatakan sebagai satu-satunya media massa yang digunakan masyarakat sebagai pegangan. Harian Indonesia Raya berusaha melakukan peran dan fungsinya namun dihalangi. Tulisan yang banyak mengkritisi isu nasional, seperti yang dikatakan di atas, berupaya untuk menjadi alat yang digunakan sebagai agen perubahan. Karena dari situlah, aspirasi masyarakat dapat tersampaikan. Namun pada akhirnya pers tidak bisa dijadikan sebagai alat kontrol sosial (ditandai dengan penahanan Mochtar Lubis dan pencabutan Surat Ijin Terbit). Dampaknya, banyak terjadi pemberontakan sebagai bentuk protes kepada pemerintah. Maka dari itu keadaan negara menjadi tidak stabil.

Oleh: Teresia Belawati Sugiarto / 150905635

       





Daftar pustaka


Rahmanto, Qodri.2015.”Pers pada Masa Orde Baru (Pembredelan Koran Indonesia Raya tahun 1974)”. Skripsi Memperolah Gelar Sarjana Pendidikan FKIP UNS. Surakarta: tidak diterbitkan.
Haryanto, Ignatius.2013.”19 Tahun Pembredelan Majalah Tempo”.Tempo.co (Minggu, 13 Maret 2016)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar