Kebebasan pers adalah salah satu pilar terpenting
dalam proses demokrasi. Tanpa kebebasan pers, demokratisasi kehidupan
sosial-politik di sebuah negara sulit terlaksana. Penguasa dapat
sewenang-wenang menghukum masyarakat yang tidak sependapat. Kehidupan masyarakat
akan berlangsung menakutkan, karena kebebasan untuk bersuara dan berekspresi
dibungkam (Dhakidae, 2004).
Pers pada masa Orde Baru mengalami masa kelam,
kebebasan untuk berpendapat dilarang keras oleh pemerintah. Indonesianis Ben Anderson, pernah menyebutkan, kondisi tersebut
persis seperti ketika Sukarno memegang kekuasaan pada masa Demokrasi Terpimpin,
di mana kekuasaan Sukarno nyaris mutlak, dan pers pun tunduk di bawah
kekuasaannya. Sikap pemerintahan
terhadap pemberitaan media massa ditandai dengan keluarnya peraturan-peraturan
yang mengekang kebebasan pers. Setelah Surat Ijin Terbit dan Suart Izin Cetak
masih diberlakukan, pemerintah juga mengeluarkan Surat Ijin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP). Semua peraturan tersebut digunakan oleh pemerintah sebagai alat
untuk membatasi kebebasan pers. Tanggal 15 Januari 1974 pemerintah membredel 12
media massa di Ibu Kota Jakarta. Salah satunya adalah koran Indonesia Raya. Setelah peristiwa
tersebut, pers dalam masa yang mengkhawatirkan. Pers yang tidak mendukung penuh
kebijakan pemerintah diancam akan ditutup oleh pemerintah. Pasca tahun 1974
tidak ada satu koranpun yang berani menentang kebijakan pemerintah Orde Baru
secara terang-terangan. Pemerintah Orde Baru justru menguatkan
stabilitas negaranya dengan menggunakan pers, terlebih dengan menggunakan pers yang berasal dari
kalangan kelompok militer dan partai pendukung.
Cuplikan film Ada Apa
Dengan Cinta? mengingatkan kembali bagaimana kebebasan berpendapat adalah
perbuatan yang salah. Yusrizal yang diperankan oleh Pramana Padmodarmaya diceritakan sebagai pensiunan yang tidak
pernah menerima uang pensiun. Hal itu dikarenakan pada tahun 1996, ia pernah
menulis thesis tentang kebusukan orang-orang di pemerintahan. Tidak berhenti
sampai disitu, penderitaan keluarga Yusrizal juga ditambah dengan teror terus
menerus oleh orang yang tidak dikenal. Pada film itu diceritakan sekelompok
preman yang datang ke rumah Yusrizal melempar bola api. Ternyata masa reformasi
belum menjadi titik balik kebebasan pers di Indonesia.
Harian Indonesia Raya adalah surat kabar nasional yang mengalami dua kali masa
penerbitan, yakni pada masa pemerintahan Orde Lama dan
masa Orde Baru. Pada kedua masa pemerintahan tersebut harian Indonesia Raya
mengalami larangan terbit. Selama masa penerbitan pertama 1949-1968, lima wartawannya pernah ditahan
selama beberapa hari, bahkan ada yang sampai satu bulan. Pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis,
menjadi tahanan rumah dan dipenjarakan selama sembilan tahun tanpa proses
peradilan. Pada masa
pemerintahan Orde Baru, atau pada tanggal 30 Oktober 1968, harian Indonesia Raya kembali
terbit. Pada periode ini harian
Indonesia Raya banyak mengkritisi isu nasional, yaitu Proyek Miniatur
Indonesia, korupsi dan manipulasi, pemuda dan mahasiswa,
keadaan politik
nasional, kesenjangan
sosial dan strategi pembangunan ekonomi, peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung, modal Jepang di Indonesia,
serta peristiwa 15 Januari 1974 yang berbuntut kepada penahanan Mochtar Lubis. Harian Indonesia Raya secara
resmi ditutup sejak dikeluarkan pencabutan Surat Izin
Terbit (SIT) pada 22 Januari 1974 oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pers
dan Grafika, Departemen
Penerangan. Pencabutan Surat Izin Cetak (SIC) oleh Pelaksana Khusus Panglima Komando Operasi Pemulihan dan
Keamanandan Ketertiban Daerah Jakarta Raya dan Sekitarnya. Selain itu, harian Indonesia Raya
merupakan salah satu media di Indonesia yang banyak dinilai fenomenal dalam pelaporan investigasi. Harian ini juga melakukan penyidikan mengenai kasus korupsi atau
tuduhan korupsi oleh
pejabat pemerintah atau pengusaha dan menyiarkannya dengan kritis.
Pers mempunyai
peranan penting sebagai alat perubahan sosial dan pembaharuan masyarakat. Pers
atau surat kabar dapat berperan dalam penyampaian kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat juga dapat
menggunakan pers sebagai penyalur
aspirasi dan pendapat serta kritik atau kontrol sosial. Pers dapat berperan sebagai media penghubung yang
efektif antara pemerintah dan masyarakat (Soekarno, 1986).
Peranan dan
fungsi pers selain melakukan pemberitaan yang objektif kepada masyarakat, juga
berperan dalam pembentukan pendapat umum. Pers juga dapat berperan aktif dalam
membangun kesadaran politik masyarakat. Peranan pers dan media massa lainnya yang paling pokok dalam pembangunan adalah
sebagai agen perubahan, agent of change.
Letak peranannya adalah membantu
mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.
Pers dan media massa sebagai agen perubahan
sosial memiliki beberapa tugas yang dapat dilakukan untuk menunjang pembangunan sebagai salah satu tempat terjadinya
pembaharuan dan perubahan sosial (Rachmadi, 1990). Fungsi dan peranan pers juga
diatur dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang pers, fungsi pers ialah sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Televisi pada masa orde baru masih berusia
balita (bawah lima tahun), dan kepercayaan publik kepada televisi masih harus
dibangun. Koran bisa dikatakan
sebagai satu-satunya media massa yang digunakan masyarakat sebagai pegangan. Harian
Indonesia Raya berusaha melakukan
peran dan fungsinya namun dihalangi. Tulisan yang banyak mengkritisi isu nasional, seperti
yang dikatakan di atas, berupaya untuk menjadi alat yang digunakan sebagai agen
perubahan. Karena dari situlah, aspirasi masyarakat dapat tersampaikan. Namun
pada akhirnya pers tidak bisa
dijadikan sebagai alat kontrol sosial (ditandai dengan penahanan Mochtar Lubis
dan pencabutan Surat Ijin Terbit). Dampaknya, banyak terjadi pemberontakan
sebagai bentuk protes kepada pemerintah. Maka dari itu keadaan negara menjadi
tidak stabil.
Oleh: Teresia Belawati Sugiarto /
150905635
Daftar pustaka
Rahmanto, Qodri.2015.”Pers pada Masa Orde
Baru (Pembredelan Koran Indonesia Raya tahun 1974)”. Skripsi Memperolah Gelar
Sarjana Pendidikan FKIP UNS. Surakarta: tidak diterbitkan.
Haryanto, Ignatius.2013.”19 Tahun
Pembredelan Majalah Tempo”.Tempo.co (Minggu, 13 Maret 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar